Tuesday, April 19, 2016

Dian Sastro dan Pasungan Kita


Dan akhirnya Dian Sastro buka suara terkait perjuangan Kartini Kendeng. Mamah muda banyak yang kecewa dengan tanggapan Dian yang yaa,, datar saja gitu. Dalam berita yang dimuat Kompas pada Sabtu, 16 April 2016 Dian justru mempertanyakan peran laki-laki. Kenapa yang bicara malah perempuan? Bukannya memberi semangat kepada Kartini Kendeng, Dian justru menyarankan para perempuan garis depan itu untuk lepas dari politik dan kembali ke urusan domestik.
 Tapi ini sebenarnya yang salah wartawannya deh, lha wong belio itu datang ke Jepara untuk seminar sekaligus promo film RA Kartini garapan Hanung Bramantyo. Seperti yang sudah-sudah, beberapa film Hanung kerap terlihat miskin materi. Alih-alih menyajikan cerita sarat makna, film garapan Hanung justru berkutat pada alur cerita. Sehingga, ujung-ujungnya ya soal perjuangan cinta.
Lupakan soal Hanung, biarkan dia berkarya dan semoga tetap jaya.
Bukan salah Dian berpendapat sedatar itu, kitanya saja yang terlalu berharap lebih. Wartawan Kompas itu apalagi, ngapain sih nanya soal perjuangan perempuan yang memasung kakinya dengan semen. Kepada perempuan yang sedang terpasung kecerdasannya. Meski masa kuliahnya dipungkasi dengan skripsi yang membahas isu persamaan jender dalam kacamata filsafat, tak lantas membuat Dian lantang berbicara persamaan jender. Skripsi tinggallah skripsi. Meski dosen pembimbingmu menawarkan dicetak jadi buku, bendelan kertas itu hanyalah tiket wisudamu. Jika kamu tak menjadikannya mahakarya yang mengilhami kelanjutan hidupmu.
Filsafat feminisme maupun persamaan jender bagi kalangan mapan kerap hanya menjadi obrolan hangat di meja makan. Seperti sejarahnya, feminisme lahir dari pemikiran para perempuan borjuis yang mendobrak batasannya. Dian Sastro yang digadang-gadang menjadi ikon perempuan cerdas kekinian, harus memelihara batasannya. Kita harus memaklumi itu. Demi kesejahteraan hidupnya, demi keharmonisan rumah tangganya, demi karir keartisannya, demi merawat pilihan hidupnya, dia terima pasungannya.
Kartini Kendeng dipasung semen. Saya hanya awam yang mengamati pemberitaan mereka di beberapa media independen seperti Pindai.org dan sejenisnya. Dari tempat tinggal saya di sudut kota Balikpapan, saya memandang iri pada Sukinah dan kawan-kawannya. Mereka, perempuan yang lama menikmati kemerdekaannya, berani melawan ketika Pabrik Semen akan memasung hidupnya. Kemerdekaan bertani dan memenuhi periuknya dengan hasil kerja seharian itu takkan ditukar dengan tawaran pembelian lahan.
Siapalah Saya yang hidup di lingkungan perempuan istri pekerja tambang dan nelayan. Hari ini suami pulang membawa uang kita habiskan untuk senang-senang. Sebagai istri nelayan, apa yang didapat hari ini untuk makan, habiskan hari ini, esok kita cari lagi. Sebagai istri pekerja tambang, tak pernah ada kepastian sampai kapan bertahan. Sewaktu-waktu kontrak kerja berakhir, maka berakhir pula kenikmatan hidup mapan. Tak ada kewenangan untuk menentukan masa depan. Untuk menyesap kehidupan mapan itu, kami rela dipasung.
Kabar tentang bocah-bocah yang mati terperosok dalam lubang bekas tambang batu bara di Samarinda kami dengar biasa saja. Oh,. Itu terjadi jauh di sana, di kota sebelah, kita sih baik-baik saja. Lain lagi, saya melihat media pemberitaan itu terkadang lebay. Suatu hari saya melihat  berita tentang keluarga yang hidup di sebuah gubuk kayu dengan fasilitas seadanya. Lokasinya di sebuah daerah di Kalimantan. Nah, ini lebay banget, begitu saja diberitakan. Karena keluarga miskin dalam gubuk kayu itu biasa dan banyak di sekitar saya. Meski kaya tambang batu bara dan minyak, nyatanya tak juga  menciptakan kesejahteraan yang merata. Dan jika beberapa bulan setiap tahunnya kami merasai mendung kabut asap, itulah klimaks kenikmatan pasungan.
Sukinah, selagi mampu memperjuangkan kemerdekaannya, akan berkeras mengerahkan segala daya. Pak Gubernur yang meminta mereka muleh dari tenda tak sedikitpun dihiraukan. Paada akhirnya semua bermuara pada perspektif kita melihat pasungan. Ngana kira apa yang diperjuangkan ibu-ibu Kartini Kendeng itu hanya sekedar petak-petak sawah? Sa kira lebih  dari itu, mereka tak peduli lembaran paparan amdal. Bagi mereka, kenyamanan hidup komunal takkan rela ditukar dengan hidup ala kapital.
Jika kemajuan zaman memaksa kita meyakini hidup nyaman adalah bekerja di perusahaan, digaji, belanja, dan tidur nyenyak. Tidak demikian bagi petani Gunung Kendeng. Memelihara hijau bumi pertiwi, mendidik generasi dalam lingkungan asri, dan memenuhi periuk dari hasil bertani, adalah kemerdekaan sejati.


Lalu bagaimana dengan kita? Masihkah asyik menikmati pasungan dengan aneka cita rasa? Ya.. mari kita nikmati bersama karena memang penghayatan hidup kita segini-gini saja.

No comments:

Post a Comment