Dan akhirnya Dian Sastro buka suara terkait perjuangan
Kartini Kendeng. Mamah muda banyak yang kecewa dengan tanggapan Dian yang yaa,,
datar saja gitu. Dalam berita yang dimuat Kompas pada Sabtu, 16 April 2016 Dian
justru mempertanyakan peran laki-laki. Kenapa yang bicara malah perempuan?
Bukannya memberi semangat kepada Kartini Kendeng, Dian justru menyarankan para
perempuan garis depan itu untuk lepas dari politik dan kembali ke urusan
domestik.
Tapi ini
sebenarnya yang salah wartawannya deh, lha wong belio itu datang ke Jepara
untuk seminar sekaligus promo film RA Kartini garapan Hanung Bramantyo. Seperti
yang sudah-sudah, beberapa film Hanung kerap terlihat miskin materi. Alih-alih
menyajikan cerita sarat makna, film garapan Hanung justru berkutat pada alur
cerita. Sehingga, ujung-ujungnya ya soal perjuangan cinta.
Bukan salah Dian berpendapat sedatar itu, kitanya saja
yang terlalu berharap lebih. Wartawan Kompas itu apalagi, ngapain sih nanya
soal perjuangan perempuan yang memasung kakinya dengan semen. Kepada perempuan
yang sedang terpasung kecerdasannya. Meski masa kuliahnya dipungkasi dengan
skripsi yang membahas isu persamaan jender dalam kacamata filsafat, tak lantas
membuat Dian lantang berbicara persamaan jender. Skripsi tinggallah skripsi.
Meski dosen pembimbingmu menawarkan dicetak jadi buku, bendelan kertas itu
hanyalah tiket wisudamu. Jika kamu tak menjadikannya mahakarya yang mengilhami
kelanjutan hidupmu.
Filsafat feminisme maupun persamaan jender bagi
kalangan mapan kerap hanya menjadi obrolan hangat di meja makan. Seperti
sejarahnya, feminisme lahir dari pemikiran para perempuan borjuis yang
mendobrak batasannya. Dian Sastro yang digadang-gadang menjadi ikon perempuan
cerdas kekinian, harus memelihara batasannya. Kita harus memaklumi itu. Demi
kesejahteraan hidupnya, demi keharmonisan rumah tangganya, demi karir
keartisannya, demi merawat pilihan hidupnya, dia terima pasungannya.
Kartini Kendeng dipasung semen. Saya hanya awam yang
mengamati pemberitaan mereka di beberapa media independen seperti Pindai.org
dan sejenisnya. Dari tempat tinggal saya di sudut kota Balikpapan, saya
memandang iri pada Sukinah dan kawan-kawannya. Mereka, perempuan yang lama
menikmati kemerdekaannya, berani melawan ketika Pabrik Semen akan memasung
hidupnya. Kemerdekaan bertani dan memenuhi periuknya dengan hasil kerja seharian
itu takkan ditukar dengan tawaran pembelian lahan.
Siapalah Saya yang hidup di lingkungan perempuan istri
pekerja tambang dan nelayan. Hari ini suami pulang membawa uang kita habiskan
untuk senang-senang. Sebagai istri nelayan, apa yang didapat hari ini untuk
makan, habiskan hari ini, esok kita cari lagi. Sebagai istri pekerja tambang,
tak pernah ada kepastian sampai kapan bertahan. Sewaktu-waktu kontrak kerja
berakhir, maka berakhir pula kenikmatan hidup mapan. Tak ada kewenangan untuk
menentukan masa depan. Untuk menyesap kehidupan mapan itu, kami rela dipasung.
Kabar tentang bocah-bocah yang mati terperosok dalam
lubang bekas tambang batu bara di Samarinda kami dengar biasa saja. Oh,. Itu
terjadi jauh di sana, di kota sebelah, kita sih baik-baik saja. Lain lagi, saya
melihat media pemberitaan itu terkadang lebay. Suatu hari saya melihat berita tentang keluarga yang hidup di sebuah
gubuk kayu dengan fasilitas seadanya. Lokasinya di sebuah daerah di Kalimantan.
Nah, ini lebay banget, begitu saja diberitakan. Karena keluarga miskin dalam
gubuk kayu itu biasa dan banyak di sekitar saya. Meski kaya tambang batu bara
dan minyak, nyatanya tak juga menciptakan kesejahteraan yang merata. Dan
jika beberapa bulan setiap tahunnya kami merasai mendung kabut asap, itulah
klimaks kenikmatan pasungan.
Sukinah, selagi mampu memperjuangkan kemerdekaannya,
akan berkeras mengerahkan segala daya. Pak Gubernur yang meminta mereka muleh dari tenda tak sedikitpun
dihiraukan. Paada akhirnya semua bermuara pada perspektif
kita melihat pasungan. Ngana kira apa yang diperjuangkan ibu-ibu Kartini
Kendeng itu hanya sekedar petak-petak sawah? Sa kira lebih dari itu, mereka tak peduli lembaran paparan amdal.
Bagi mereka, kenyamanan hidup
komunal takkan rela ditukar dengan hidup ala kapital.
Jika kemajuan zaman
memaksa kita meyakini hidup nyaman adalah bekerja di perusahaan, digaji,
belanja, dan tidur nyenyak. Tidak demikian bagi petani Gunung Kendeng.
Memelihara hijau bumi pertiwi, mendidik generasi dalam lingkungan asri, dan
memenuhi periuk dari hasil bertani, adalah kemerdekaan sejati.
Lalu bagaimana dengan
kita? Masihkah asyik menikmati pasungan dengan aneka cita rasa? Ya.. mari kita
nikmati bersama karena memang penghayatan hidup kita segini-gini saja.
No comments:
Post a Comment