Saturday, April 18, 2015

Pengantaran Terakhir

Ya sih judulnya agak mirip judul sebuah lukisan karya Da Vinci. Terakhir ibu saya mengantar saya ke Juanda, sedianya saya akan terbang ke Manado. Tepat 40hari kemudian beliau wafat.
Konon, 40hari sebelum seseorang itu meninggal, selama itu dia akan selalu diikuti oleh malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa. Menurut agama Islam, pada H-40 meninggalnya seseorang, daun yang bertuliskan nama orang tersebut di lauhul mahfudz telah dijatuhkan yang pertanda ajal orang tersebut telah dekat.

Pada kisah meninggalnya Ibu saya, saya jadi percaya dengan cerita tersebut.
Pagi tanggal 11 september 2013, sedianya pukul 09.00 saya akan berangkat ke Manado. Seluruh keluarga akan mengantar ke Juanda, termasuk Ibu saya yang kala itu sedang sakit keras. Meski beberapa hari terakhir beliau hanya bisa berbaring karena sakitnya, pagi itu beliau ngotot minta turut serta mengantar. Setelah mandi pagi dan bersiap, Ibu memanggil saya, beliau minta bernyanyi dan direkam di hp saya, untuk obat rindu katanya. Sebetulnya beliau minta rekam video,tapi memori hp saya sedang penuh,jadi hanya bisa rekam suara.

Mikro "Bus Kota" Manado

Moda transportasi masyarakat di Manado ini bisa dibilang tidak main-main. Angkutan umum jenis mikrolet ini merupakan sarana transportasi favorit selain ojek. Jika Anda berkunjung ke Kota Manado jangan khawatir dengan kenyamanan berkeliling kota. Karena mikrolet ini dibuat dengan senyaman mungkin dengan desain interior beragam.

Penataan kursi penumpang berbeda dengan kebanyakan mikrolet di kota lain di Indonesia. Kursi menghadap ke depan semua, bukan samping menyamping seperti mikrolet di Kota Malang atau Kota Mojokerto misalnya. Kebersihan dalam mobil pun sangat diperhatikan oleh si sopir, full musik, dan tak jarang juga dilengkapi tv LED. Semua fasilitas itu untuk kenyamanan penumpang, karena calon penumpang pasti akan pilih-pilih saat akan menaiki mikrolet ini.

Gempita Pilpres di Mata Seorang Ibu

Saya hanya seorang ibu. Perempuan yang terdampar jauh dari teman dan keluarga, mengikuti suami dinas kerja di ujung utara Indonesia. Keseharian hanya merawat anak yang masih balita dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Di masa kampanye Pemilihan Presiden tahun 2014 ini saya merasakan kegembiraan demokrasi yang hanya bisa saya nikmati dari media televisi maupun media sosial. Ingatan saya kembali pada saat saya masih kelas dua eSeMPe di tahun 1998. Kala itu saya rajin mengkliping gambar dan berita tentang arus mahasiswa dalam gempita reformasi. Saya mengkliping gambar dari koran langganan bapak saya, koran Surya, mungkin kliping itu masih ada di rumah bapak saya (penasaran pengen ngecek).

Kala itu mungkin saya belum mengerti apa yang dilakukan kakak-kakak mahasiswa di gedung MPR RI. Tapi, ingatan saya lekat dengan sebuah tontonan tentang perjuangan, bersatunya mahasiswa melawan Pak Harto. Keren. Kakak-kakak yang tertembak-kasihan, dan orang tua mereka yang bersedih. Tak sampai saya mengkliping kejadian yang dialami etnis Tionghoa di Jakarta,karena mungkin luput maupun dilarang diliput media. Dan saya juga masih ingat bagaimana rumah dan toko yang terletak di pinggir jalan raya di Mojokerto dan. daerah lain jadi banyak grafiti bertulis “Pro Reformasi”, “Keluarga Muslim”, dan ada juga yang membentangkan sajadah di halaman rumah maupun toko. Politik identitas memainkan perannya.